Popular Post

By : Unknown







1.       Pemeliharaan tanpa Pergantian Kandang (Brood Grow Lay System)
Brood Grow Lay System atau biasa disebut dengan all in all out adalah pemeliharaan ayam pada fase starter, grower dan finisher terjadi dalam satu kandang tanpa adanya pergantian. Artinya, sepanjang hidupnya ayam dipelihara di dalam kandang yang sama dan ayam tidak pernah dipindah-pindahkan. Sistem ini biasanya digunakan pada Breeder farm,
kelebihan Brood Grow Lay System adalah
-          dapat mengurangi stress akibat pemindahan ayam
-          lebih murah dan efisien karena tidak perlu berganti-ganti kandang dan hanya menggunakan litter sebagai alasnya
-          tidak membuat ayam setres pada masa awal produksi karena tidak ada perpindahan kandang sehingga tidak mengganggu produksi telur
kekurangan Brood Grow Lay System adalah
-          penyebaran penyakit dalam model kandang seperti ini lebih cepat karena kontak ayam yang sakit dan ayam yang sehat sangat mudah apalagi jika litter lembab dan jarang dibersihkan. Litter yang lembab dan basah akan mudah busuk dan merupakan media yang baik untuk perkembangan mikroorganisme penyebab penyakit dan parasit, sehingga pada saat fase laying jika telur tidak sering diambil akan mengakibatkan telur mudah terkontaminasi bakteri dalam litter sehingga akan menurunkan kualitas telur.
-          Pada masa grower akan terjadi persaingan dalam pakan, sehingga ayam yang memiliki ukuran lebih besar akan mendapatkan pakan lebih banyak sedangkan ayam dengan ukuran kecil sehingga akan terjadi perbedaan konsumsi pakan dan mengakibatkan perbedaan bobot badan, perbedaan ini akan berdampak pada fase produksi telur yang tidak terjadi secara serentak

2.       Pemeliharaan dengan Penggantian Kandang Menjelang Periode Bertelur (Brood Grow System)
Dalam sistem ini ayam dipelihara di kandang yang sama dari awal pemeliharaan sampai siap bertelur. Baru sesudah siap bertelur ayam dipindahkan ke kandang khusus untuk bertelur. Pemindahan biasanya dilakukan pada saat ayam berumur 16-18 minggu.
Kekurangan dari pemeliharaan ini adalah
-          mengakibatkan ayam stress pada awal periode bertelur hal ini diakibatkan karena ayam harus lebih dulu beradaptasi dengan kandang yang baru sehingga akan mengganggu produktivitasnya dan dapat menurunkan produksi telurnya.
Kelebihan dari sistem ini adalah
-          meminimalisirkan telur yang terkontaminasi karena pada saat fase layer ayam tidak ditempatkan pada litter namun sudah pada kandang ayam wire/batery.

3.       Pemeliharaan dengan Penggantian Kandang Menjelang Periode Dara (Grow Lay System)
Pada sistem ini ayam dipelihara bersama-sama mulai dari masa brooding (masa awal hidup) sampai umur kurang lebih 10 minggu. Kemudian ayam-ayam tersebut dipindahkan ke kandang lain untuk periode pembesaran, peneluran, dan fase afkir.
Sistem ini memiliki kelebihan antara lain yaitu
-          mengurangi stres pada ayam karena ayam dipindah lebih awal, sehingga tidak akan mebuat ayam stress pada masa awal produksi sehingga tidak akan menurunkan produksi telur.
-          Kasus kanibalisme saling mematuk pada ayam menjadi tidak ada sehingga deflesi kematian ayam jauh berkurang dibanding pakai sistem litter
-          Ayam akan mendapatkan kesempatan dan jatah pakan yang sama, sehingga pertumbuhan berat badan merata. Dengan penggunaan batteray grower maka Uniformity body weight akan bisa mencapai 90% bahkan lebih. Pertumbuhan yang baik pada masa grower akan mempengaruhi keberhasilan fase produksi telur
Kekurangan
-          Lebih boros dalam penggunaan kandang karena terdapat dua jenis kandang

Program Pemeliharaan Ayam Petelur Komersial
Umur (mg)
Jenis kegiatan
Program pemberian pakan
Keterangan
Nama pakan
Protein
(%)
ME
(Kkal/kg)
1-4
5-10
PreStarter
Starter
20
19
2900
2800
Adlibitum
Pemberian pakan pada periode starter harus memiliki kadar protein yang tinggi, protein tersebut berfungsi dalam pertumbuhan dan untuk perkembangan organ-organ dalam tubuh, selain itu protein juga berfungsi untuk menghangatkan tubuh ayam karena saat periode starter ayam belum mempunyai bulu yang sempurna.
11-16
Grower
15,5
2700
Restricted
Pemberian pakan dengan sistem jatah dan disertai dengan puasa, tidak diberikan makan satu atau dua hari dalam seminggu. Cara ini dilakukan bertujuan agar ayam yang dipelihara tidak terlalu gemuk dan dapat mencapai keseragaman bobot badan (uniformity) sehingga puncak bertelur akan seragam. Jika bobot ayam terlalu gemuk dapat menyebabkan banyak kerugian yaitu produksi menurun, lebih peka terhadap penyakit, mudah terkena cekaman panas dan mortalitasnya lebih tinggi. Pemberin protein diturunkan karena bulu sudah mulai tumbuh sempurna sehingga jika protein tetap konstan maka akan menyebabkan stress panas.
17-18
Pre layer
16
2700
Restricted
Pemberian protein ditingkatkan untuk mempersiapkan fase produksi telur
19-50
Layer 1
16,5
2700
Full feeding/sesuai kebutuhan
Pakan yang diberikan sesuai kebutuhan dengan perbandingan pagi 60% dan sore 40%
>50
Layer 2 - afkir
16
2650



By : Unknown








Nomor
Hasil
Evaluasi
Referensi
1.
Kondisi umum rumah pemotongan hewan

a.    Nama : Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Penggaron









b.    Alamat : Jalan Brigjen Soediarto Km 6, Kelurahan Penggaron Kidul, Kecamatan Pedurungan, Semarang.












c.    Luas : 4 ha

















d.   Bangunan : 4766,77 m2 yang terdiri dari kandang penampungan dan ruang pemotongan sapi dan babi, gedung kesmavet, pengolahan limbah, laboratorium, pos satpam, kantin, mushola dan tempat parkir.  




e.    Jarak antar bangunan : 25 m













f.     Jarak dengan jalan raya : 1 km









g.    Jarak dengan pemukiman : 50 m











 
h.    Jarak dengan pusat kota : 8 km










i.      Jarak dengan kampus : 16 km




j.      Fasilitas : Kandang transit, timbangan sapi, timbangan karkas dan pengolahan limbah, pos satpam, tempat parkir, kantin dan mushola









 

k.    Jarak penampungan limbah : 100 m


                                                    













l.      Sumber air : 2 sumur artesis












 

m.  Tenaga kerja :
Sapi = 30 orang
Babi = 17 orang









n.    Struktur organisasi : Lampiran 2













o.    Kapasitas kandang penampungan :
300 ekor sapi
200 ekor babi











p.    Jumlah pemotongan setiap hari :
22 ekor sapi
25 ekor babi













q.    Biaya pemotongan per ekor :
Rp. 81.000/sapi
Rp. 77.000/babi



a.      Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Penggaron sudah baik dikarenakan tata letak dan persyaratan sudah memenuhi standar rumah pemotongan hewan.

b.         Lokasi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Penggaron cukup baik karena jauh dari pemukiman warga sehingga  tidak menimbulkan gangguan pada masyarakat sekitar dan memudahkan dalam kontrol lalu lintas.



c.         Luas lahan Rumah Pemotongan Hewan (RPH)  Penggaron sudah ideal dikarenakan memiliki lahan yang cukup luas sehingga dapat digunakan untuk bangunan utama dan untuk pembanguanan sarana penunjang untuk pengembangan RPH.


d.         Bangunan di RPH Penggaron sudah memenuhi syarat karena terdiri dari bangunan utama dan penunjang.






e.         Jarak antar bangunan di RPH Penggaron sudah cukup baik karena lebih dari standar yang telah ditentukan yaitu 10m, sehingga dapat memudahkan dalam pengelolaan dan penanganan di RPH.

f.          Jarak RPH dengan jalan raya sudah cukup baik karena dekat dengan jalan raya sehingga memudahkan akses menuju RPH dan pengiriman daging ke pasar.

g.         Jarak RPH dengan dengan pemukiman penduduk tidak sesuai dengan standar yaitu 2-3 km dari pemukiman penduduk, jarak yang terlalu dekat dapat mencemari lingkungan penduduk.

h.         Jarak RPH Penggaron sudah baik karena jarak dengan pusat kota cukup jauh sehingga tidak menimbulkan pencemaran ke lingkungan pusat kota.


i.           Jarak RPH Penggaron dengan kampus cukup jauh.

j.           Fasilitas yang ada di RPH Penggaron sudah baik karena fasiltas yang ada sudah lengkap untuk mendukung proses pemotongan.








k.         Jarak penampungan limbah RPH Penggaron sudah cukup baik karena sudah sesuai dengan standar, jarak penampungan limbah yang cukup jauh tersebut dapat meminimalisirkan kontaminasi bakteri pada daging yang dipotong.


l.           Sumber air di RPH Penggaron sudah baik karena terdapat 2 sumur artetis sehingga dapat mencukupi kebutuhan air untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan untuk sanitasi.




m.       Jumlah tenaga kerja yang ada di RPH Penggaron sudah cukup sehingga pelaksanaan pemotongan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.



n.         Struktur organisasi di RPH Penggaron sudah baik karena sudah terbagi dalam pembagian kerja sehingga akan lebih terstruktur karena setiap pekerja memiliki tanggung jawab masing-masing.


o.         Kapasitas kandang penampungan di RPH Penggaron sudah baik karena daya tampung sudah lebih dari 1,5 kali lipat dari ternak yang akan di potong sehingga tempat peristirahatan ternak lebih luas.


p.         RPH Penggaron termasuk dalam RPH tipe B apabila dilihat dari jumlah pemotongan hewannya yaitu berkisar antara 21-50 ekor. Hal tersebut cukup baik karena RPH Penggaron dapat mencukupi kebutuhan daging di pasaran.

q.         Biaya pemotongan ternak sapi dan babi lebih mahal jika dibandingkan dengan standar.



a.       Rumah pemotongan hewan adalah sebuah bangunan yang memenuhi persyaratan teknis dan hygiene untuk memotong hewan ternak (Lawu dkk., 2014).




b.      Lokasi RPH yang baik adalah tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya, tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan, tidak rawan terhadap banjir, mempunyai akses air yang bersih dan bangunan antar jenis ternak berbeda (Permentan No. 13/OT.140/1/2010).


 
c.       Salah satu syarat berdirinya RPH adalah memiliki kawasan lahan yang cukup luas untuk pengembangan RPH (Permentan No. 13/OT.140/1/2010).











d.      Bangunan utama Rumah Pemotongan Hewan (RPH) terdiri dari rumah pemotongan, kandang penampungan, pengolahan limbah cair, perkantoran dan laboratorium (Lawu dkk., 2014).




e.       Jarak  minimal antar bangunan yaitu 10 meter, terutama pada bangunan penampungan dengan bangunan utama (Permentan No. 13/OT.140/1/2010).







f.       Akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging (Permentan No. 13/OT.140/1/2010).



g.      Lokasi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang ideal harus berjarak sekurang-kurangnya 2-3 km dari pemukiman penduduk (Burhanuddin, 2009).







h.      RPH sebaiknya tidak terlalu dekat dengan pusat kota namun dekat dengan akses jalan raya untuk menjaga keamanan RPH dan pusat kota serta untuk memudahkan dalam kegiatan pendistribusian daging (Asdar, 2014).



i.       




j.        Fasilitas yang harus ada di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah bagunan utama yang terdiri dari rumah pemotongan, kandang penampungan, karantina, pengolahan limbah cair, kantor, dan laboratorium sedangan bagunan pendukung meliputi gudang, pos satpam, tempat parkir, kantin dan mushola (Lawu dkk., 2014).

k.      Jarak tempat penampungan limbah minimal 100 m dari tempat pemotongan ternak agar tidak terjadi kontaminasi pada saat proses pemotongan (Tawaf, 2012).










l.        RPH harus mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta sanitasi. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari (Permentan No. 13/OT.140/1/2010).


m.    Tenaga kerja di RPH Penggaron bekerja sesuai bidangnya masing-masing dan memiliki keahlian di bidangnya masing-masing sehingga pekerjaan akan berjalan efektif dan efisien (Permentan No. 13/OT.140/1/2010).



n.      Struktur organisasi dibuat dengan baik dan efektif sehingga tujuan kerja tercapai dengan efisien (Gammahendra dkk., 2014).







o.      Kapasitas kandang RPH diwajibkan memiliki kandang dengan daya tampung 1,5 kali dari rata-rata jumlah pemotongan setiap hari (Permentan No.13/OT.140/1/2010).








p.      RPH tipe B rata-rata jumlah pemotongan setiap harinya berkisar antara 21-50 ekor sapi (Suardana dkk., 2013).











q.      Tarif pemotongan untuk sapi atau kerbau Rp 75.000/ekor dan babi adalah Rp 27.500/ekor (Peraturan Daerah Kota Temanggung, 2011).
2.
Pemerikasaan ante mortem ternak sapi
a.       Bangsa : Limousin Ongole (LIMPO)




















b.      Umur (Poel)          : 2,5 tahun (Poel 2)






c.    Jenis kelamin          : Jantan










d.   Asal ternak             : Kudus




e.    Bobot potong         : 488,41 kg







f.     Lingkar dada         : 199 cm








g.    Panjang badan       : 154 cm










h.    Tinggi pundak        : 133 cm









i.      Body condition score (BCS) : 6




j.      Kondisi kesehatan ternak : sehat






k.    Lama pengistirahatan : 1 hari

a.       Sapi Limousin Ongole (LIMPO) merupakan persilangan (cross breeding)  antara sapi Limousin dengan sapi lokal Ongole. Sapi LIMPO merupakan sapi potong karena memiliki tubuh yang besar, dan perototannya yang bagus. Ciri-ciri sapi LIMPO  adalah tidak memiliki punuk, tidak bergelambir dan warna bulu hanya cokelat tua kehitaman atau cokelat muda.

b.    Umur sapi yang akan dipotong sudah sesuai dengan standar yaitu 2,5 tahun sehingga bobot potong dapat tercapai.

c.    Jenis kelamin ternak yang dipotong di RPH Penggaron sudah baik dan memenuhi syarat. Syarat ternak yang di potong adalah berjenis kelamin jantan, hal tersebut dikarenakan sapi jantan memiliki pertumbuhan bobot badan lebih tinggi jika dibanding dengan sapi betina dan juga sapi betina produkif tidak boleh dipotong karena akan mengganggu proses reproduksi.

d.   Daerah asal ternak yang akan dipotong tergolong jauh, sehingga akan menyebabkan stress karena terlalu lama dalam perjalanan.

e.    Bobot potong sapi yang akan dipotong sudah sesuai dengan standar, bobot potong yang semakin tinggi akan menghasilkan karkas yang semakin banyak pula sehingga daging yang dihasilkan akan lebih banyak.


f.       Lingkar dada digunakan untuk pendugaan bobot badan ternak dengan cara melingkarkan pita ukur mengikuti lingkar dada atau tubuh di belakang tulang belikat, lingkar dada sapi LIMPO sudah sesuai dengan standar yaitu  196 cm. Standar untuk sapi LIMPO adalah ±158 cm.

g.      Panjang badan dapat diukur dengan menggunakan pita ukur dari pundak atas hingga tulang duduk bagian belakang sapi, panjang badan dapat digunakan untuk mengetahui pendugaan bobot badan sapi Untuk tinggi pundak 147 cm sudah memenuhi syarat sapi untuk dipotong. Standarnya yaitu ±119 cm.


h.    Tinggi pundak dapat diukur dengan menggunakan pita ukur dengan cara meletakkan pita ukur dari tanah lalu ditarik keatas sampai dibelakang punuk sapi, berdasarkan hasil pengukuran didapat tinggi pundak sapi LIMPO 133cm, hal tersebut sudah sesuai dengan standar tinggi pundak untuk sapi Peranakan Limousin yaitu 125cm.

i.      BCS sapi yang akan dipotong sudah sesuai dengan standar BCS sapi siap potong.


j.      Sapi yang akan dipotong dalam kondisi sehat. Berdasarkan pengamatan sapi terlihat licah dengan posisi berdiri tegak dan tidak cacat.



k.    Lama pengistirahatan  ternak yang akan dipotong sudah sesuai dengan standar. Lama pengistirahatan yang sesuai akan memudahkan dalam proses pemotongan ternak.






a.       Persilangan sapi Limousin dengan sapi Ongole dikenal dengan nama sapi Limousin Ongole (LIMPO). Sapi LIMPO merupakan hewan ternak yang memiliki tujuan untuk dijadikan sebagai hewan potong untuk diambil produksinya berupa daging. Sapi LIMPO memiliki ciri tidak berpunuk, tidak bergelambir dan warna bulu hanya cokelat tua kehitaman atau cokelat muda (Fikar dan Ruhyadi, 2010).





b.         Sapi siap potong minimal harus berumur 2 tahun agar bobot potong ternak  dapat tercapai (Agus, 1990).



c.         Ternak yang dipotong sebaiknya berjenis kelamin jantan dan ternak betina yang sudah tidak produktif (Hafid dan Rugoyah, 2009). Memotong ternak betina produktif dapat terkena sanksi dan pidana (Suswono, 2009).






d.      Jarak tempuh yang jauh akan mengakibatkan tingkat stress pada ternak yang berdampak pada penyusutan bobot badan, dan hilangnya pertambahan bobot badan (Rianto, 2010).

e.       Sapi siap potong memiliki berat tubuh sekitar 350 – 400 kg (Hafid dan Priyanto, 2006). Bobot potong yang semakin meningkat menghasilkan karkas yang semakin meningkat pula sehingga diharapkan bagian daging menjadi lebih besar (Sumardianto dkk., 2013).


f.       Pengukuran lingkar dada memiliki hubungan erat dengan bobot badan (Chamdi, 2005). Lingkar dada untuk sapi peranakan limousin berkisar  ±158 cm (Budisatria dan Hartatik, 2011).




g.         Parameter tubuh adalah nilai yang dapat diukur dari bagian tubuh ternak meliputi permukaan tubuh, antara lain ukuran kepala, tinggi, panjang, lebar (Tobing, 2012). Panjang badan ternak dapat diukur dari jarak ujung tulang bahu sampai ujung tulang duduk (Alam, 2010). Panjang badan untuk sapi peranakan limousin berkisar  ±119 cm (Budisatria dan Hartatik, 2011).


h.         Beberapa ukuran tubuh ternak data digunakan untuk pendugaan bobot badan sapi seperti tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan (Hardjosubroto,1994). Tinggi gumpa untuk sapi peranakan limousin berkisar  ± 125 cm (Budisatria dan Hartatik, 2011).




i.        Sapi siap potong  yang baik adalah berumur 2 tahun dengan BCS minimal 4 dan maksimal 6 (Sodiq dan Budiono, 2012).


j.      Syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan ternak adalah ternak harus dalam keadaan sehat atau tidak dalam kondisi lelah setelah perjalanan (Soeparno, 1998). Ternak yang akan disembelih adalah ternak yang bersih, sehat dan tidak cacat (Prasetyo dkk., 2009).

k.    Mengistirahatkan ternak sebelum disembelih ada 2 (dua) cara, yaitu dengan dipuasakan dan tanpa dipuasakan. Pemuasaan dilakukan agar  diperoleh bobot tubuh kosong, yaitu bobot tubuh yang telah dikurangi isi saluran pencernaan,  mempermudah proses penyembelihan terutama bagi ternak yang agresif atau liar, sedangkan pengistirahatan ternak tanpa pemuasaan adalah agar ternak tidak mengalami stres dan ketika disembelih ternak mengeluarkan darah sebanyak mungkin karena lebih kuat meronta, mengejang atau berkontraksi sehingga darah yang dikeluarkan akan lebih sempurna, selain itu agar cukup tersedia energi, sehingga proses kekakuan karkas (rigormortis) berlangsung secara sempurna (Soeparno, 1998). Waktu istirahat standar yang dibutuhkan sapi sekitar 12 – 24 jam (Hidayat dkk., 2015)
3.
Pemotongan ternak sapi
a.    Alur pemotongan ternak :
Pengistirahatan ternak à Pemeriksaan ante mortem à Perubuhan ternak à Penyembelihan à Pemotongan kaki dan kepala à Pengulitan à Pengeluaran viscera à Penimbangan karkas à Pemeriksaan post mortem











b.    Tukang sembelih ternak : Bapak Sochibin






c.    Peralatan pemotongan ternak : Golok, pisau, kapak, asahan pisau, tambang, pengait/jangkar, timbangan karkas, railing system.





















d.   Bobot darah : 14,65 kg =  3%










e.    Lama pengeluaran darah : 2 menit 13 detik






















f.     Bobot tubuh kosong : 343,65 kg









g.    Bobot saluran pencernaan : 130,11 kg =  26,64%














h.    Bobot karkas : 250,16 kg


















i.      Lama pengulitan : 10 menit 41 detik












j.      Bobot kulit : 43,95 kg = 9%











k.    Bobot kaki : 12,01 kg = 2,46%











l.      Bobot kepala : 27,01 kg = 5,53%












m.  Bobot hati : 4,98 kg = 1,02%














n.    Persentase karkas : 51,22 %













o.    Lama waktu pemotongan : 45 menit






a.         Alur pemotongan ternak di RPH Penggaron sudah sesuai dengan teknis pemotongan yang benar














b.         Tukang sembelih di RPH Penggaron sudah melakukan penyembelihan dengan cara yang baik dan halal.


c.         Peralatan yang terdapat di RPH Penggaron sudah sesuai dengan standar. Penggunaan railing sistem akan memudahkan dalam pengangkutan karkas dan menjaga agar karkas tidak terkontaminasi bakteri yang ada pada lantai. Pisau yang digunakan juga tajam sehingga ternak proses penyembelihan dapat berjalan cepat sehingga tidak menyakiti ternak.

d.        Persentase darah sapi yang dipotong sudah sesuai dengan standar yaitu 3%






e.     Lama pengeluaran darah adalah 2 menit 13 detik. Lama pengeluran darah tergantung pada jumlah darah yang dikeluarkan. Faktor yang mempengaruhi waktu pengeluaran darah adalah posisi ternak saat disembelih dan pengistirahatan ternak.









f.          Bobot tubuh kosong ternak sudah sesuai dengan standar. Bobot tubuh kosong ternak dipengaruhi oleh bobot saluran pencernaan.


g.         Bobot saluran pencernaan sapi yang akan dipotong adalah 130,11 kg atau  26,64%, hal tersebut belum sesuai dengan standar persentase viscera yaitu 27,87-29,71. Persentase bobot saluran pencernaan dipengaruhi oleh lama pemuasaan.

h.   Bobot karkas yang diperoleh di RPH Penggaron adalah 250,16 kg dengan persentase 51,22%. Persentase karkas tergolong normal karena persentase karkas berkisar 50% - 60% bobot karkas termasuk tinggi. Faktor yang berpengaruh pada bobot karkas adalah bobot potong yang tinggi.


i.        Waktu pengulitan relatif lama, teknik pengulitan sudah baik sesuai dengan prosedur tetapi proses yang digunakan masih manual tidak menggunakan mesin, sehingga waktu pengulitan tidak efisien dan relatif lama.

j.           Bobot kulit yang diperoleh di RPH Penggaron adalah 43,95 kg dengan persentase 9%. Persentase bobot kulit tergolong normal karena persentase karkas berkisar antara 8-12%.

k.         Bobot kaki sapi yang dipotong di RPH Penggaron sudah memenuhi standar, tingginya bobot kaki dibandingkan dengan standar dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.

l.           Bobot kepala pada ternak adalah 25,19 kg dengan persentase 5,53%. Bobot kepala sudah sesuai dengan standar bobot kepala sapi potong, bobot kepala dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.


m.       Bobot hati yang diperoleh di RPH Penggaron adalah 5 kg dengan persentase 1,02% yang mana tergolong tinggi jika dibandingkan dengan standarnya yaitu 0,7-0,9%. Bobot hati yang tinggi disebabkan oleh ukuran tubuh ternak yang besar.

n.         Persentase karkas yang diperoleh di RPH Penggaron adalah adalah 51,22% dari bobot potong. Persentase karkas tergolong lebih tinngi dibandingkan standar. Hal ini dipengaruhi oleh bobot hidup saat dipotong.

o.         Lama waktu pemotongan tergolong lama hal tersebut dipengaruhi oleh besar kecilnya ukuran ternak, perlatan yang ada dan tenaga kerja.

a.    Proses pemotongan ternak terdiri dari pemuasaan ternak, pemeriksaan kesehatan ternak, kemudian di bawa ke ruang pemotongan, ditambatkan pada cincin pembanting untuk dirobohkan, memotong leher, darah ditampung, kepala dipisahkan, tubuh sapi tanpa kepala diletakan di atas cradle, kaki dipotong, memisahkan jaringan subkutan, sapi digantung kemudian dikeluarkan viscera, karkas ditimbang (Agus, 1990).

b.    Proses penyembelihan harus berjalan dengan baik dan sesuai syariat islam sehingga terjamin kehalalannya (Kemenag, 2010).


c.    Di dalam bangunan utama harus dilengkapi dengan sistem (railling system) dan alat penggantung karkas yang didisain khusus dan disesuaikan dengan alur proses untuk mempermudah proses pemotongan dan menjaga agar karkas tidak menyentuh lantai dan dinding, pisau yang digunakan untuk pemotongan harus tajam sehingga tiak menyakiti ternak (Badan Standarisasi Nasional, 1999).









d.   Persentase bobot darah sapi jantan adalah 3% dari bobot hidup (Rahaldo, 2012). Banyaknya darah yang dihasilkan ditentukan dari bobot potong dan proses pemotongan pembuluh darah yang berada di leher (Suryadi, 2006).

e.    Posisi ternak yang digantung akan mempercepat proses pengeluaran darah saat penyembelihan, darah yang keluar secara sempurna menghasilkan daging dengan mutu simpan yang baik dikarenakan darah tidak teringgal didalam daging (Blakely dan Bade, 1998). Pengistirahatan ternak dilakukan agar ternak tidak mengalami stres dan ketika disembelih ternak mengeluarkan darah sebanyak mungkin karena lebih kuat meronta, mengejang atau berkontraksi sehingga darah yang dikeluarkan akan lebih sempurna (Soeparno, 1998).

f.     Kisaran bobot tubuh kosong sapi yang normal di atas 300 kg (Lestari dkk., 2010). Bobot tubuh kosong dapat dipengaruhi oleh bobot saluran pencernaan dan darah (Purbowati dkk., 2014).



g.    Bobot saluran pencernaan sapi potong sebesar 27,87 - 29,71% dari bobot tubuh sapi potong (Lestari dkk., 2010). Bobot saluran pencernaan dipengaruhi oleh isi yang terdapat pada saluran pencernaan, isi saluran pencernaan dipengaruhi oleh pemuasaan (Suryadi, 2006).




h.    Pesentase bobot karkas berkisar antara  50% -  60% dari bobot hidupnya (Dumaria, 2006). Semakin tinggi bobot potong maka bobot karkas yang dihasilkan semakin meningkat pula (Soeparno, 2005).










i.      Waktu yang dibutuhkan untuk pengulitan adalah 9-10 menit (Blakely dan Bade, 1998). Upaya untuk mempercepat proses pengulitan digunakan mesin Hide Puller yang menarik dari hindshank kearah leher dan foreshank (Ismail dkk., 2014).




j.      Persentase kulit terhadap berat hidup yaitu 8-12%, bobot kulit basah meningkat seiring dengan perlemakan dan perluasan jaringan kulit yang membesar. Faktor yang memengaruhi berat kulit adalah postur tubuh (Soeparno, 2005).


k.    Persentase bobot kaki sapi yaitu 2 % dari bobot hidup (Rahaldo, 2012). Bobot kaki pada sapi dipengaruhi oleh jenis kelamin ternak dan umur (Akoso, 1996).





l.      Bobot kepala pada sapi jantan memiliki persentase sebesar 5,26% dari bobot potong (Lestari dkk., 2010). Faktor yang mempengaruhi bobot kepala adalah jenis kelamin karena dipengaruhi oleh pertumbuhan relatif non karkas (Soeparno, 2005).



m.  Persentase hati berkisar 0,7% - 0,9% (Rahaldo, 2012). Faktor yang mempengaruhi berat hati adalah ukuran tubuh ternak. Semakin besar tubuh ternak maka semakin besar pula berat hati (Suryadi, 2006).






n.    Persentase karkas untuk sapi Limosin, Arbedeen Angus dan Simental memiliki persentase 50% dari bobot hidupnya, faktor yang mempengaruhi bobot karkas adalah bobot potong, umur dan pakan (Fikar dan Ruhyadi, 2010).




o.    Ukuran tubuh ternak, peralatan yang tersedia dan tenaga kerja mempengaruhi lama dari pemotongan ternak tersebut (Soeparno, 1998). Lama waktu pemotongan kurang lebih sekitar 30 menit (Blakely and Bade, 1998).
4.
Pemeriksaan antemortem ternak babi
a.    Bangsa : Yorkshire













b.    Umur : 6-7 bulan












c.    Jenis kelamin : Betina






d.   Asal ternak : Kopeng








e.    Bobot potong : 100 kg









f.     Kondisi kesehatan ternak : Sehat


a.     Bangsa babi yang dipotong adalah Yorkshire. Babi jenis ini adalah jenis babi yang digemukkan. Berdasarkan pengamatan babi Yorkshire mempunyai ciri-ciri warna bulu putih kemerahan dan telinganya tegak.

b.     Umur ternak babi yang disembelih di RPH Penggaron sudah baik untuk di potong karena umur babi siap untuk dipotong adalah 6-8 bulan. Babi umur 6-8 bulan sudah memiliki perototan yang baik sehingga siap untuk dipotong.

c.     Jenis kelamin babi yang dipotong di RPH Penggaron sudah sesuai dengan standar.


d.    Daerah asal ternak yang akan dipotong tergolong cukup jauh, semakin jauh jarak tempuh maka akan menyebabkan ternak akan semakin stres.

e.     Bobot potong babi yang ada RPH Penggaron sudah baik karena sesuai dengan standar . Standar bobot badan babi siap potong adalah 100kg.

f.      Babi yang akan dipotong dalam kondisi sehat. Berdasarkan pengamatan babi terlihat licah dengan posisi berdiri tegak dan tidak cacat


a.       Babi Yorkshire memiliki ciri-ciri berwarna putih dengan telinga tegak. Bangsa babi ini merupakan tipe bacon/pedaging yang memiliki pertumbuhan yang cepat (Susilorini dkk., 2008).






b.      Babi siap untuk dipotong berumur 6 - 8 bulan karena umur 6 bulan bobot babi sudah mencapai 70 - 90 kg (Sinaga, 2008).








c.       Pemotongan pada ternak babi diutamakan jenis kelamin betina karena babi jantan digunakan untuk perkawinan alami (Sinaga, 2008).

d.      Jarak tempuh yang jauh akan mengakibatkan tingkat stress pada ternak yang berdampak pada penyusutan bobot badan, dan hilangnya pertambahan bobot badan (Rianto, 2010).

e.       Rataan umum bobot potong babi berkisar antara 90-100 kg (Lampian dkk., 2013).






f.       Syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan ternak adalah ternak harus dalam keadaan sehat atau tidak dalam kondisi lelah setelah perjalanan (Soeparno, 1998). Ternak yang akan disembelih adalah ternak yang bersih, sehat dan tidak cacat (Prasetyo dkk., 2009).
5.        
Pemotongan ternak babi
a.    Alur pemotongan ternak :
Pengistirahatan ternak à Stunning (Pemingsanan) à Penyembelihan à Perebusan à Pengerokan kulit à Pemotongan kepala à Pengeluaran viscera à Penimbangan karkas








b.    Peralatan pemotongan : pisau, tempat perebusan, electric stunner dan timbangan karkas dan railing system.








c.    Bobot darah : 3 kg = 3%







d.   Lama pengeluaran darah : 27 detik





















e.    Bobot viscera : 8 kg = 8%











f.     Bobot kepala : 5 kg = 5%









g.    Bobot hati : 2 kg = 2%











h.    Bobot karkas : 81kg = 81%
















i.      Lama waktu pemotongan : 46 menit













j.      Lama pemuasaan : 12 jam










a.    Alur pemotongan ternak babi yang berada di RPH Penggaron sudah sesuai dengan teknis pemotongan babi yang dimulai dari proses stunning sampai  pembentukan karkas.




b.    Peralatan yang digunakan dalam pemotongan sudah baik karena sudah sesuai dengan standar teknis. Alat yang digunakan sudah lengkap sehingga memudahkan dalam proses pemotongan.

c.    Persentase bobot darah yang dikeluarkan sudah sesuai dengan standar.



d.   Lama pengeluaran darah tergolong  cepat, faktor yang mempengaruhi lama waktu pengeluaran darah adalah pengistirahat ternak dan cara penyembelihan.














e.    Persentase saluran pencernaan sudah baik karena sudah sesuai dengan standar. Bobot viscera dipengaruhi oleh pemuasaan.





f.     Persentase bobot kepala babi sudah baik karena sudah sesuai dengan literaratur yaitu 5% dari bobot tubuh.




g.    Persentase bobot hati sudah baik karena sudah sesuai dengan literatur yaitu 2% dari bobot hidup.






h.    Bobot karkas yang dperoleh di RPH Penggaron adalah 81 kg atau 81% dari bobot hidup. Persentase bobot karkas tergolong tinggi jika dibandingkan dengan literatur  yaitu 70%. Persentase karkas yang tinggi dapat bobot potong yang tinggi.


i.      Lama waktu pemotongan babi di RPH Penggaron tergolong lama, hal tersebut dikarenakan tenaga kerja yang kurang.








j.      Lama pemuasaaan ternak yang akan disembelih di RPH Penggaron sudah sesuai dengan standar, lama pemuasaan yang sesuai dapat mengurangi isi dari saluran pencernaan dan memudahkan proses penyembelihan.





a.    Sebelum disembelih ternak babi dipingsankan terlebih dahulu kemudian dilakukan penyembelihan dengan cara menusuk urat nadi leher dan dimasukkan ke air panas yang kemudian dilakukan pengerokan bulu, penggantungan babi untuk mempermudah pengeluaran organ dalam dan pembentukan karkas (Sariubang dan Kaharuddin, 2011).

b.    Alat yang digunakan untuk pemotongan adalah pisau, pemingsan, alat pembersih, alat angkut ternak dan timbangan (Permentan No. 13/OT.140/1/2010).






c.    Persentase bobot darah sapi adalah 3% dari bobot hidup (Rahaldo, 2012). Rendahnya bobot darah dapat dipengaruhi dari bobot potongnya (Serres, 1992).

d.   Waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan darah kurang lebih sekitar 60 detik (Blakely and Bade, 1998). Apabila penyembelihan dilakukan dengan cara atau prosedur yang benar maka darah akan cepat keluar (Zakaria, 2012). Pengistirahatan ternak dilakukan agar ternak tidak mengalami stres dan ketika disembelih ternak mengeluarkan darah sebanyak mungkin karena lebih kuat meronta, mengejang atau berkontraksi sehingga darah yang dikeluarkan akan lebih sempurna (Soeparno, 1998).

e.    Persentase saluran pencernaan  mencapai 11,64% dari bobot hidup (Wea dkk., 2013). Bobot saluran pencernaan dipengaruhi oleh isi yang terdapat pada saluran pencernaan, isi saluran pencernaan dipengaruhi oleh pemuasaan (Suryadi, 2006).

f.           Kisaran bobot kepala babi adalah 5% dari bobot tubuh (Wea dkk., 2013). Persentase komposisi bagian tubuh dipengaruhi oleh faktor genetis, jenis kelamin dan umur (Seranno dkk., 2008).

g.          Hati babi memiliki persentase mencapai 2,1 % dari bobot hidup (Tirta, 2014). Faktor yang mempengaruhi berat hati adalah ukuran tubuh ternak. Semakin berat bobot badan ternak makan berat hati semakin besar (Hafid, 2006).

h.      Ternak babi memiliki persentase karkas yang lebih tinggi di banding ternak lainnya yaitu 70%, tingginya persentase babi dipengaruhi oleh persentase non karkas yang meliputi bagian kaki (Tobing, 2012).








i.            Lama waktu pemotongan babi berkisar antara 15 – 25 menit (Sihombing, 1997). Waktu pemotongan yang dibutuhkan sampai pembentukan karkas tidak boleh terlalu lama terutama pada proses penyembelihan, waktu pemotongan dipengaruhi oleh peralatan yang lengkap dan tenaga kerja (Hafid dan Aka, 2008)

j.            Sebelum dilakukannya pemotongan ternak, ternak harus dipuasakan selama 12 jam yang bertujuan untuk mendapatkan berat hidup yang kosong (Widiarto dkk., 2009). Ternak yang akan dipotong harus dipuasakan minimal 8-12 jam sebelum ternak dipotong. Tujuan pengistirahatan ternak adalah untuk memperoleh bobot tubuh kosong dan mempermudah proses penyembelihan (Hafid dan Rugayah, 2009).
6.
Pemeriksaan post mortem :
a.       Sapi : Hati, warna merah agak gelap secara merata dengan kantong empedu yang relative kecil. Konsistensi kenyal dengan tepi-tepi yang cenderung tajam. Tekstur karkas sapi halus agak berserat, warna daging merah segar, bau khas daging sapi, tidak ditemukan cacing pada hati.










b.      Babi : Ternak sehat dan tidak terjadi pembengkakan pada limpa, limpa granula berwarna putih dan tidak ada memar pada tubuh. Tekstur daging babi lembut,warna daging merah pucat, bau khas babi.

a.       Pemeriksaan post mortem kualitas daging sapi baik dan aman untuk dikonsumsi.














b.      Pemeriksaan post mortem kualitas daging babi baik dan aman untuk dikonsumsi

a.         Pemeriksaan postmortem adalah pemeriksaan untuk memastikan kelayakan daging yang dihasilkan aman dan layak diedarkan untuk dikonsumsi masyarakat (Badan Standarisasi Nasional, 1999). Ciri-ciri daging sapi yang sehat adalah berwarna merah terang atau cerah, mengkilap, tidak pucat, elastis, tidak lengket dan beraroma khas (Usmiati, 2010).


b.      Pemeriksaan post mortem pada babi harus dilakukan untuk memeriksa kelayakan daging babi untuk dikonsumsi (Badan Standarisasi Nasional, 1999). Limpa yang tidak terjadi pembengkakan menandakan babi sehat, karen limpa merupakan oragn kekebalan tubuh (Charles,2009)



DAFTAR PUSTAKA

Agus, B. M. 1990. Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta

Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Alam, S. 2010. Hubungan antara Ukuran Eksterior Tubuh Terhadap Bobot badan Sapi PO Jantan. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. (Skripsi).

Asdar, Z. 2014. Analisis Proses Pengelolaan Pemotongan Sapi dan Kerbau di Rumah Potong Hewan Tamangapa Kecamatan Manggala Makassar. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi Sarjana Peternakan).

Badan Standar Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-6159-1999. Tentang Rumah Pemotongan Hewan, Jakarta.
Blakely, J. dan D. H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi IV. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono).
Budisatria, T dan H, Tety. 2011. Perubahan fenotip sapi Peranakan Ongole, dan Limpo pada keturunan pertama dan keturunan kedua (Backcross). Buletin Peternakan. 35 (1): 11-16.

Burhanuddin, R. 2009. Studi Kelayakan Pendirian Rumah Potong Hewan di Kabupaten Kutai Timur. Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Kab. Kutai Timur.

Burhanudin. R.  2006. Studi kelayakan pendirian rumah potong hewan di Kabupaten Kutai Timur. Peneliti Pada Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK

Chamdi, A.N. 2005.Karakteristik sumberdaya genetik ternak Sapi Bali (Bos-bibos banteng) dan alternatif pola konservasinya. Biodiversitas 6 (1) : 70-75.

Dumaria, 2006. Partisipas Peternak dalam Penyuluhan Peternakan (Kasus kelompok peternak babi di desa Siborong-borong Kabupaten Tapnuli Utara Propisnsi Sumatera Utara. Institus Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi Sarjana Peternakan).
Fikar, S. dan D. Ruhyadi. 2010. Beternak dan Bisnis Sapi Potong. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Gammahendra, F., D. Hamid dan M. F. Rizal. 2014. Pengaruh struktur organisasi terhadap efektivitas organisasi. J. Administrasi Bisnis (JAB) 7 (2) :1-10.

Hafid, H dan R. Aka. 2008. Pengaruh jarak transportasi sebelum pemotongan terhadap karakteristik karkas sapi Bali. Jurnal Agriplus. 18 (3) :    214-21.
Hafid, H, 2006. Penanganan ternak sebelum pemotongan dan kualitas daging sapi. Jurnal Agriplus. 18 (3) : 214-219.
Hafid, H. dan N. Rughayah. 2009. Persentase karkas sapi bali pada berbagai berat badan dan lama pemuasaan sebelum pemotongan. Prosiding Seminar Nasionala Teknologi dan Veternier. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hal. 77-85.
Hafid, H. H. dan R. Priyanto. 2006. Pertumbuhan dan distribusi potongan komersial karkas sapi Australian Commercial Cross dan Brahman Cross hasil penggemukan. Media Peternakan. Vol. 29 (2): 63-69
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta. PT. Gramedia Widiasarana, Indonesia.
Hidayat, M.A., Kuswati and T. Susilawati. 2015. Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 25 (2) :71-79

Ismail, M., H. Nuraini dan R. Priyanto. 2014. Perlemakan pada sapi Bali dan sapi Madura meningkatkan bobot komponen karkas dan menurunkan persentase komponen non karkas. Jurnal Veteriner. 15 (3) : 411 – 424.

Kemenag. 2010. Pedoman dan Tata Cara Pemotongan Hewan secara Halal. Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Jakarta.

Lapian, M.T.R., P.H. Siagian, W. Manalu, dan R. Priyanto. 2013. Kualitas karkas babi potong yang dilahirkan dari induk yang disuperovulasi sebelum pengawinan. J. Veteriner. 14 (3): 350-357.
Lawu, M. R., S. Yuliawati, dan L.D. Saraswati. 2014. Gambaran pelaksanaan rumah pemotongan hewan babi (Studi kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang). J.  Kesehatan Masyarakat. 2 (2). 127-131.
Lestari, C. M.S., Y. Hudoyo, dan S. Dartosukarno. 2010. Proporsi karkas dan komponen-komponen nonkarkas sapi jawa di rumah potong hewan swasta kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes. Dalam: Hardi P, Natalia L, Iskandar S, Puastuti W, Herawati T, Nurhayati, Anggraeni A, Damayanti R, Darmayanti NLPI, Estuningsih SE (Ed). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Teknologi Peternakan dan Veteriner Ramah Lingkungan dalam Mendukung Program Swasembada Daging dan Peningkatan Ketahanan Pangan. Bogor, 3-4 Agustus 2010. Hal. 296-300
Peraturan Daerah Kabupaten Tulungangung, Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung  Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rumah Potong Hewan.
Peraturan Menteri Pertanian. 2010. Peraturan Rumah Potong Ruminansia dan Unit Penanganan Daging. Departemen Pertanian, Jakarta. No. 03/Permentan/OT.140/1/2010.

Prasetyo, A., Soeparno, EdiS, Suryanto, dan Rusman. 2009. Karakteristik kimia dan mikrostruktur otot longissimus dorsi dan biceps femoris dari sapi glonggong. Buletin Peternakan. 33 (1) : 23-29.
Purbowati, E., E. Rianto., W. S. Dilaga., C. M. S. Lestari dan R. Adiwinarti. 2014. Bobot dan panjang saluran pencernaan sapi Jawa dan sapi Peranakan Ongole di Brebes. Fakultas Peternakan dan Pertanian Univeristas Diponegoro, Semarang. J. Peternakan Indonesia. 16(1) : 15-19.

Rahaldo, P. 2012. Persentase Karkas, Non Karkas dan Jeroan sapi Brahman Cross Pada Berbagi Ukuran Bobot Hidup, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Skripsi Sarjana Peternakan ).
Rianto. 2010. Rumah Potong Hewan sesuai Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Sariubang, M dan Kaharuddin. 2011. Analisis ekonomi pemeliharaan ternak babi secara tradisional di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Jurnal Agrisistem, Vol. 7 No.2.

Seranno, M.P., Valencia D.G., Nieto M, Lazaro R, Mateos G.G. 2007. Influence of sex and terminal sire line on performance and carcass and meat quality of Iberian pigs reared under intensive production systems. Meat Sci 78 : 420-428.
Serres, H. 1992. Manual Of Pig Production In The Tropics. C.A.B. International. Wallingford, England.

Sihombing, D. T. H. 1997. Ilmu Beternak Babi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sinaga, S. 2008. Manajemen Ternak Babi. Diktat. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung.

Siregar, C.J. 2009. Gambaran Respon Kebal Terhadap Infectious Bursal Disease (IBD) pada Ayam Pedaging Yang Divaksin IBD Killed Setengah Dosis Dan Ditantang Dengan Virus IBD. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (Skripsi)

Sodiq, A dan M. Budiono, 2012. Produktifitas sapi potong pada kelompok tani ternak pedesaan. Agripet. 2 (1) : 28-33.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan III. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan IV. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Suardana, I. W., I. M. Sukada, I. K. Suada, dan D. A. Widiasih. 2013. Analisis jumlah dan umur Sapi Bali Betina produktif yang dipotong di rumah pemotongan hewan Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali. J. Sci. Vet.31 (1) : 43-48.

Sumardianto, T. A. P., E. Purbawanti dan Masykuri. 2013. Karakteristik karkas kambing Kacang, kambing peranakan Ettawa, dan kambing Kejobong jantan pada umur satu tahun. Jurnal Peternakan. 2 (1): 175-182.

Suryadi, U. 2006. Pengaruh bobot potong terhadap kualitas dan hasil karkas sapi Brahman Cross. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 1 (31): 21-27.

Susilorini,T.E., M. E. Sawitri dan Muharlien. 2008. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.

Suswono. 2009. Pemotongan sapi lokal produktif. Departemen Pertanian. Jakarta.
Tawaf, R. 2012. Standarisasi manajemen rumah potong hewan milik pemerintah di Jawa Barat. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. (Seminar).

Tirta Merta, I W., I. N. T. Ariana, dan L. G. Sumardani, 2014. Pengaruh penambahan sekam padi pada ransum yang mengandung limbah hotel terhadap berat organ dalam babi    landrace persilangan. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar Vol. 2 (2014) 10 – 19.  
Tobing, S.W.L. 2012.Perbandingan Kualitas Karkas dan Daging antara Babi Peliharaan dan Babi Hutan. Universitas Andalas, Padang. (Skripsi Sarjana Peternakan).

Usmiati, S. 2010. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.

Wea, R., B. B. Koten, dan T. N. I. Koni. 2013. Identifikasi komposisi tubuh babi Timor jantan yang dipelihara secara ekstensif. Veteriner. 14 (3) : 358-364.

Widiarto, W., R. Widiati, dan I G. S. Budisatria. 2009. Pengaruh berat potong dan harga pembelian domba dan kambing betina terhadap gross margin jagal di Rumah Potong Hewan Mentik Kresen Bantul. Buletin Peternakan 33 (2): 119-128.

Zakaria, M. 2012. Analisis Penggemukan Sapi Potong Simmental dan Limousin. Penebar Swadaya, Jakarta.





















- Copyright © widia elisa - Date A Live - - Designed by Yoshitake -