By : Unknown
1. Pemeliharaan tanpa Pergantian Kandang (Brood Grow Lay System)
Brood Grow
Lay System atau biasa disebut dengan all
in all out adalah pemeliharaan ayam pada fase starter, grower dan finisher
terjadi dalam satu kandang tanpa adanya pergantian. Artinya, sepanjang hidupnya
ayam dipelihara di dalam kandang yang sama dan ayam tidak pernah dipindah-pindahkan.
Sistem ini biasanya digunakan pada Breeder farm,
kelebihan Brood Grow
Lay System adalah
-
dapat mengurangi stress akibat pemindahan ayam
-
lebih
murah
dan efisien karena tidak perlu berganti-ganti kandang dan hanya
menggunakan litter sebagai alasnya
-
tidak membuat ayam setres pada masa awal produksi
karena tidak ada perpindahan kandang sehingga tidak mengganggu produksi telur
kekurangan Brood
Grow Lay System adalah
-
penyebaran penyakit dalam model kandang
seperti ini lebih cepat karena kontak ayam yang sakit dan ayam yang sehat
sangat mudah apalagi jika litter lembab dan jarang dibersihkan. Litter yang lembab
dan basah akan mudah busuk dan merupakan media yang baik untuk perkembangan
mikroorganisme penyebab penyakit dan parasit, sehingga pada saat fase laying
jika telur tidak sering diambil akan mengakibatkan telur mudah terkontaminasi
bakteri dalam litter sehingga akan menurunkan kualitas telur.
-
Pada masa grower akan terjadi persaingan dalam pakan,
sehingga ayam yang memiliki ukuran lebih besar akan mendapatkan pakan lebih
banyak sedangkan ayam dengan ukuran kecil sehingga akan terjadi perbedaan
konsumsi pakan dan mengakibatkan perbedaan bobot badan, perbedaan ini akan
berdampak pada fase produksi telur yang tidak terjadi secara serentak
2.
Pemeliharaan
dengan Penggantian Kandang Menjelang Periode Bertelur (Brood Grow System)
Dalam sistem
ini ayam dipelihara di kandang yang sama dari awal pemeliharaan sampai siap
bertelur. Baru sesudah siap bertelur ayam dipindahkan ke kandang khusus untuk
bertelur. Pemindahan biasanya dilakukan pada saat ayam berumur 16-18 minggu.
Kekurangan dari pemeliharaan ini adalah
-
mengakibatkan ayam stress pada awal periode bertelur
hal ini diakibatkan karena ayam harus lebih dulu beradaptasi dengan kandang
yang baru sehingga akan mengganggu produktivitasnya dan dapat menurunkan
produksi telurnya.
Kelebihan dari sistem ini adalah
-
meminimalisirkan telur yang terkontaminasi karena pada
saat fase layer ayam tidak ditempatkan pada litter namun sudah pada kandang
ayam wire/batery.
3. Pemeliharaan dengan Penggantian Kandang Menjelang
Periode Dara (Grow Lay System)
Pada sistem
ini ayam dipelihara bersama-sama mulai dari masa brooding (masa awal hidup)
sampai umur kurang lebih 10 minggu. Kemudian ayam-ayam tersebut dipindahkan ke
kandang lain untuk periode pembesaran, peneluran, dan fase afkir.
Sistem ini
memiliki kelebihan antara lain yaitu
-
mengurangi stres pada ayam karena ayam dipindah lebih
awal, sehingga tidak akan mebuat ayam stress pada masa awal produksi sehingga
tidak akan menurunkan produksi telur.
-
Kasus kanibalisme saling mematuk pada ayam menjadi
tidak ada sehingga deflesi kematian ayam jauh berkurang dibanding pakai sistem
litter
-
Ayam
akan mendapatkan kesempatan dan jatah pakan yang sama, sehingga pertumbuhan
berat badan merata. Dengan penggunaan batteray grower maka Uniformity body
weight akan bisa mencapai 90% bahkan lebih. Pertumbuhan yang
baik pada masa grower akan mempengaruhi keberhasilan fase produksi telur
Kekurangan
-
Lebih boros dalam penggunaan kandang karena terdapat
dua jenis kandang
Program
Pemeliharaan Ayam Petelur Komersial
Umur (mg)
|
Jenis kegiatan
|
Program
pemberian pakan
|
Keterangan
|
||
Nama pakan
|
Protein
(%)
|
ME
(Kkal/kg)
|
|||
1-4
5-10
|
PreStarter
Starter
|
20
19
|
2900
2800
|
Adlibitum
|
Pemberian pakan pada periode starter
harus memiliki kadar protein yang tinggi, protein tersebut berfungsi dalam
pertumbuhan dan untuk perkembangan organ-organ dalam tubuh, selain itu
protein juga berfungsi untuk menghangatkan tubuh ayam karena saat periode
starter ayam belum mempunyai bulu yang sempurna.
|
11-16
|
Grower
|
15,5
|
2700
|
Restricted
|
Pemberian pakan dengan sistem jatah
dan disertai dengan puasa, tidak diberikan makan satu atau dua hari dalam
seminggu. Cara ini dilakukan bertujuan agar ayam yang dipelihara tidak
terlalu gemuk dan dapat mencapai keseragaman bobot badan (uniformity) sehingga puncak bertelur
akan seragam. Jika bobot ayam terlalu gemuk dapat menyebabkan banyak kerugian
yaitu produksi menurun, lebih peka terhadap penyakit, mudah terkena cekaman
panas dan mortalitasnya lebih tinggi. Pemberin protein diturunkan karena bulu
sudah mulai tumbuh sempurna sehingga jika protein tetap konstan maka akan
menyebabkan stress panas.
|
17-18
|
Pre layer
|
16
|
2700
|
Restricted
|
Pemberian protein ditingkatkan untuk
mempersiapkan fase produksi telur
|
19-50
|
Layer 1
|
16,5
|
2700
|
Full
feeding/sesuai kebutuhan
|
Pakan yang diberikan sesuai kebutuhan
dengan perbandingan pagi 60% dan sore 40%
|
>50
|
Layer 2 -
afkir
|
16
|
2650
|
Tag :
Sistem Pemeliharaan Ayam,
By : Unknown
Nomor
|
Hasil
|
Evaluasi
|
Referensi
|
1.
|
Kondisi
umum rumah pemotongan hewan
a.
Nama :
Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) Penggaron
b.
Alamat
: Jalan Brigjen Soediarto Km 6, Kelurahan Penggaron Kidul, Kecamatan Pedurungan, Semarang.
c. Luas : 4 ha
d. Bangunan : 4766,77 m2 yang terdiri
dari kandang penampungan
dan ruang pemotongan
sapi dan babi, gedung kesmavet, pengolahan limbah, laboratorium, pos satpam,
kantin, mushola dan tempat parkir.
e. Jarak antar bangunan : 25 m
f. Jarak dengan jalan raya : 1 km
g. Jarak dengan pemukiman : 50 m
h. Jarak dengan pusat kota : 8 km
i. Jarak dengan kampus : 16 km
j. Fasilitas : Kandang transit, timbangan
sapi, timbangan karkas dan pengolahan limbah, pos satpam, tempat parkir,
kantin dan mushola
k. Jarak penampungan limbah : 100 m
l. Sumber air : 2 sumur artesis
m. Tenaga kerja :
Sapi = 30 orang
Babi = 17 orang
n. Struktur organisasi : Lampiran 2
o. Kapasitas kandang penampungan :
300 ekor sapi
200 ekor babi
p. Jumlah pemotongan setiap hari :
22 ekor sapi
25 ekor babi
q. Biaya pemotongan per ekor :
Rp. 81.000/sapi
Rp. 77.000/babi
|
a. Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Penggaron sudah baik dikarenakan tata letak dan
persyaratan sudah memenuhi standar rumah pemotongan hewan.
b.
Lokasi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Penggaron cukup
baik karena jauh dari pemukiman
warga sehingga tidak menimbulkan gangguan pada masyarakat
sekitar dan memudahkan dalam kontrol lalu lintas.
c.
Luas lahan Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) Penggaron sudah ideal dikarenakan memiliki lahan yang cukup luas
sehingga dapat digunakan untuk
bangunan utama dan untuk pembanguanan sarana penunjang
untuk pengembangan RPH.
d.
Bangunan di
RPH Penggaron sudah memenuhi syarat karena terdiri dari bangunan utama
dan penunjang.
e.
Jarak
antar bangunan di RPH Penggaron sudah cukup baik karena lebih dari standar yang
telah ditentukan yaitu 10m, sehingga dapat memudahkan dalam
pengelolaan dan penanganan di RPH.
f.
Jarak
RPH dengan jalan raya sudah cukup baik karena dekat dengan jalan raya
sehingga memudahkan akses menuju RPH dan pengiriman daging ke pasar.
g.
Jarak
RPH dengan dengan pemukiman penduduk tidak sesuai dengan standar yaitu 2-3 km
dari pemukiman penduduk, jarak yang terlalu dekat dapat mencemari lingkungan
penduduk.
h.
Jarak RPH Penggaron sudah baik karena jarak dengan pusat kota cukup jauh sehingga tidak
menimbulkan pencemaran ke lingkungan pusat kota.
i.
Jarak
RPH Penggaron dengan kampus cukup jauh.
j.
Fasilitas
yang ada di RPH Penggaron sudah baik karena fasiltas yang ada sudah
lengkap untuk mendukung proses pemotongan.
k.
Jarak
penampungan limbah RPH Penggaron sudah cukup baik karena sudah sesuai dengan
standar, jarak penampungan limbah yang
cukup jauh tersebut dapat
meminimalisirkan kontaminasi bakteri pada daging yang dipotong.
l.
Sumber
air di RPH Penggaron sudah baik karena terdapat 2 sumur artetis sehingga
dapat mencukupi kebutuhan air untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan untuk
sanitasi.
m.
Jumlah
tenaga kerja yang ada di RPH Penggaron sudah cukup sehingga pelaksanaan
pemotongan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
n.
Struktur
organisasi di RPH Penggaron sudah baik karena sudah terbagi dalam pembagian
kerja sehingga akan lebih terstruktur karena setiap pekerja memiliki
tanggung jawab masing-masing.
o.
Kapasitas
kandang penampungan di RPH Penggaron sudah baik karena daya tampung sudah
lebih dari 1,5 kali lipat dari ternak yang akan di potong sehingga tempat
peristirahatan ternak lebih luas.
p.
RPH
Penggaron termasuk dalam RPH tipe B apabila dilihat dari jumlah pemotongan hewannya
yaitu berkisar antara 21-50 ekor. Hal
tersebut cukup baik karena RPH Penggaron dapat mencukupi kebutuhan daging di
pasaran.
q.
Biaya pemotongan ternak sapi dan babi lebih mahal jika dibandingkan
dengan standar.
|
a. Rumah
pemotongan hewan adalah sebuah bangunan yang memenuhi persyaratan teknis dan hygiene untuk memotong hewan ternak
(Lawu dkk., 2014).
b. Lokasi RPH yang baik adalah tidak berada di
bagian kota yang padat penduduknya, tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran
lingkungan, tidak rawan terhadap banjir, mempunyai akses air
yang bersih dan bangunan antar jenis ternak berbeda (Permentan
No. 13/OT.140/1/2010).
c. Salah satu syarat berdirinya RPH
adalah memiliki kawasan lahan yang cukup luas untuk pengembangan
RPH (Permentan No. 13/OT.140/1/2010).
d. Bangunan utama Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) terdiri
dari rumah pemotongan, kandang penampungan, pengolahan limbah cair,
perkantoran dan laboratorium (Lawu dkk., 2014).
e. Jarak minimal
antar bangunan yaitu 10 meter, terutama pada bangunan penampungan dengan
bangunan utama (Permentan No. 13/OT.140/1/2010).
f. Akses
jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan
potong dan kendaraan daging (Permentan
No. 13/OT.140/1/2010).
g. Lokasi
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang ideal harus berjarak
sekurang-kurangnya 2-3 km dari pemukiman penduduk (Burhanuddin, 2009).
h. RPH sebaiknya tidak terlalu dekat dengan
pusat kota namun dekat dengan akses jalan
raya untuk menjaga keamanan RPH dan pusat kota
serta untuk memudahkan dalam kegiatan pendistribusian daging (Asdar, 2014).
i.
–
j.
Fasilitas yang harus ada di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah bagunan utama yang terdiri dari rumah
pemotongan, kandang penampungan, karantina, pengolahan limbah cair, kantor,
dan laboratorium sedangan bagunan pendukung meliputi gudang, pos satpam, tempat
parkir, kantin dan mushola (Lawu dkk., 2014).
k. Jarak tempat penampungan limbah minimal 100
m dari tempat pemotongan ternak agar tidak terjadi kontaminasi pada saat
proses pemotongan (Tawaf,
2012).
l.
RPH
harus mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan
hewan dan kegiatan pembersihan serta sanitasi. Sumber air yang memenuhi
persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1.000
liter/ekor/hari (Permentan No. 13/OT.140/1/2010).
m. Tenaga kerja di RPH Penggaron
bekerja sesuai bidangnya masing-masing dan memiliki keahlian di bidangnya
masing-masing sehingga pekerjaan akan berjalan efektif dan efisien (Permentan
No. 13/OT.140/1/2010).
n. Struktur
organisasi dibuat dengan baik dan efektif sehingga tujuan kerja tercapai
dengan efisien (Gammahendra dkk., 2014).
o. Kapasitas
kandang RPH diwajibkan memiliki kandang dengan daya tampung 1,5 kali dari
rata-rata jumlah pemotongan setiap hari (Permentan No.13/OT.140/1/2010).
p. RPH tipe B rata-rata jumlah pemotongan
setiap harinya berkisar antara 21-50 ekor sapi (Suardana dkk., 2013).
q. Tarif pemotongan untuk sapi atau kerbau Rp
75.000/ekor dan babi adalah Rp 27.500/ekor (Peraturan Daerah Kota Temanggung,
2011).
|
2.
|
Pemerikasaan
ante mortem ternak sapi
a.
Bangsa
: Limousin Ongole (LIMPO)
b.
Umur (Poel) :
2,5 tahun (Poel 2)
c. Jenis kelamin : Jantan
d.
Asal
ternak : Kudus
e. Bobot potong : 488,41 kg
f. Lingkar dada : 199 cm
g. Panjang badan : 154 cm
h. Tinggi pundak : 133 cm
i. Body
condition score (BCS) :
6
j. Kondisi kesehatan ternak : sehat
k.
Lama
pengistirahatan : 1 hari
|
a. Sapi
Limousin Ongole (LIMPO) merupakan persilangan (cross breeding) antara sapi Limousin dengan sapi lokal
Ongole. Sapi LIMPO merupakan sapi potong karena memiliki tubuh yang besar,
dan perototannya yang bagus.
Ciri-ciri sapi LIMPO adalah tidak
memiliki punuk, tidak bergelambir dan warna bulu hanya cokelat tua kehitaman
atau cokelat muda.
b. Umur sapi yang akan dipotong sudah sesuai
dengan standar yaitu 2,5 tahun sehingga bobot potong dapat tercapai.
c.
Jenis kelamin ternak yang dipotong di RPH Penggaron sudah baik dan memenuhi syarat. Syarat
ternak yang di potong adalah berjenis kelamin jantan, hal tersebut
dikarenakan sapi jantan memiliki
pertumbuhan bobot badan lebih tinggi jika dibanding dengan sapi betina
dan juga sapi betina produkif tidak boleh dipotong karena akan mengganggu
proses reproduksi.
d.
Daerah
asal ternak yang akan dipotong tergolong jauh, sehingga akan menyebabkan
stress karena terlalu lama dalam perjalanan.
e. Bobot potong sapi yang akan dipotong sudah
sesuai dengan standar, bobot potong yang semakin tinggi akan menghasilkan
karkas yang semakin banyak pula sehingga daging yang dihasilkan akan lebih
banyak.
f. Lingkar dada digunakan untuk
pendugaan bobot badan ternak dengan cara melingkarkan pita ukur mengikuti lingkar dada
atau tubuh di belakang tulang belikat, lingkar dada sapi LIMPO sudah
sesuai dengan standar yaitu 196 cm. Standar untuk sapi LIMPO adalah ±158 cm.
g. Panjang badan dapat diukur dengan
menggunakan pita ukur dari pundak atas hingga tulang duduk bagian
belakang sapi, panjang badan
dapat digunakan untuk mengetahui pendugaan bobot badan sapi Untuk tinggi pundak 147 cm sudah memenuhi
syarat sapi untuk dipotong. Standarnya yaitu ±119 cm.
h. Tinggi pundak dapat diukur dengan menggunakan
pita ukur dengan cara meletakkan pita ukur dari tanah lalu ditarik
keatas sampai dibelakang punuk sapi, berdasarkan hasil pengukuran didapat
tinggi pundak sapi LIMPO 133cm, hal tersebut sudah sesuai dengan standar
tinggi pundak untuk sapi Peranakan Limousin yaitu 125cm.
i. BCS sapi yang akan dipotong sudah sesuai
dengan standar BCS sapi siap potong.
j.
Sapi yang
akan dipotong dalam kondisi sehat. Berdasarkan pengamatan sapi terlihat licah
dengan posisi berdiri tegak dan tidak cacat.
k. Lama pengistirahatan ternak yang akan dipotong sudah sesuai
dengan standar. Lama pengistirahatan yang sesuai akan memudahkan dalam proses
pemotongan ternak.
|
a. Persilangan
sapi Limousin dengan sapi Ongole dikenal dengan nama sapi Limousin Ongole
(LIMPO). Sapi LIMPO merupakan hewan ternak yang memiliki tujuan untuk
dijadikan sebagai hewan potong untuk diambil produksinya berupa daging. Sapi
LIMPO memiliki ciri tidak berpunuk, tidak bergelambir dan warna bulu hanya
cokelat tua kehitaman atau cokelat muda (Fikar dan Ruhyadi, 2010).
b.
Sapi siap potong minimal harus berumur 2 tahun
agar bobot potong ternak dapat
tercapai (Agus, 1990).
c.
Ternak yang dipotong sebaiknya berjenis kelamin jantan dan
ternak betina yang sudah tidak produktif (Hafid dan Rugoyah, 2009). Memotong ternak betina produktif dapat terkena sanksi dan pidana
(Suswono, 2009).
d. Jarak
tempuh yang jauh akan mengakibatkan tingkat stress pada ternak yang berdampak
pada penyusutan bobot badan, dan hilangnya pertambahan bobot badan (Rianto, 2010).
e.
Sapi siap potong memiliki berat tubuh sekitar
350 – 400 kg (Hafid dan Priyanto, 2006). Bobot potong yang semakin meningkat
menghasilkan karkas yang semakin meningkat pula sehingga diharapkan bagian
daging menjadi lebih besar (Sumardianto dkk., 2013).
f. Pengukuran
lingkar dada memiliki hubungan erat dengan bobot badan (Chamdi, 2005). Lingkar dada untuk sapi peranakan limousin
berkisar ±158 cm (Budisatria dan Hartatik, 2011).
g.
Parameter tubuh adalah nilai yang dapat diukur dari bagian
tubuh ternak meliputi permukaan tubuh, antara lain ukuran kepala, tinggi,
panjang, lebar (Tobing, 2012). Panjang badan ternak dapat diukur dari jarak ujung tulang bahu sampai
ujung tulang duduk (Alam, 2010). Panjang
badan untuk sapi peranakan limousin berkisar ±119 cm (Budisatria
dan Hartatik, 2011).
h.
Beberapa ukuran tubuh ternak data digunakan untuk pendugaan bobot
badan sapi seperti tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan (Hardjosubroto,1994). Tinggi gumpa untuk
sapi peranakan limousin berkisar ± 125 cm (Budisatria dan Hartatik, 2011).
i.
Sapi siap potong yang
baik adalah berumur 2 tahun dengan BCS minimal 4 dan
maksimal 6 (Sodiq dan
Budiono, 2012).
j.
Syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan ternak adalah ternak harus dalam keadaan sehat
atau tidak dalam kondisi lelah setelah perjalanan (Soeparno, 1998). Ternak
yang akan disembelih adalah ternak yang bersih, sehat dan tidak cacat (Prasetyo dkk., 2009).
k.
Mengistirahatkan
ternak sebelum disembelih ada 2 (dua) cara, yaitu dengan dipuasakan dan tanpa
dipuasakan. Pemuasaan dilakukan agar
diperoleh bobot tubuh kosong, yaitu bobot tubuh yang telah dikurangi
isi saluran pencernaan, mempermudah
proses penyembelihan terutama bagi ternak yang agresif atau liar, sedangkan
pengistirahatan ternak tanpa pemuasaan adalah agar ternak tidak mengalami
stres dan ketika disembelih ternak mengeluarkan darah sebanyak mungkin karena
lebih kuat meronta, mengejang atau berkontraksi sehingga darah yang
dikeluarkan akan lebih sempurna, selain itu agar cukup tersedia energi,
sehingga proses kekakuan karkas (rigormortis) berlangsung secara sempurna
(Soeparno, 1998). Waktu
istirahat standar yang dibutuhkan sapi sekitar 12 – 24 jam (Hidayat dkk.,
2015)
|
3.
|
Pemotongan
ternak sapi
a.
Alur
pemotongan ternak :
Pengistirahatan
ternak à Pemeriksaan ante mortem à Perubuhan
ternak à Penyembelihan
à Pemotongan
kaki dan kepala à Pengulitan à Pengeluaran viscera à Penimbangan
karkas à Pemeriksaan post mortem
b. Tukang sembelih ternak : Bapak Sochibin
c. Peralatan pemotongan ternak : Golok,
pisau, kapak, asahan pisau, tambang, pengait/jangkar, timbangan karkas, railing system.
d. Bobot darah : 14,65 kg = 3%
e. Lama pengeluaran darah : 2 menit 13 detik
f. Bobot tubuh kosong : 343,65 kg
g. Bobot saluran pencernaan : 130,11 kg = 26,64%
h. Bobot karkas : 250,16 kg
i. Lama pengulitan : 10 menit 41 detik
j. Bobot kulit : 43,95 kg = 9%
k. Bobot kaki : 12,01 kg = 2,46%
l. Bobot kepala : 27,01 kg = 5,53%
m. Bobot hati : 4,98 kg = 1,02%
n. Persentase karkas : 51,22 %
o. Lama waktu pemotongan : 45 menit
|
a.
Alur
pemotongan ternak di RPH Penggaron sudah sesuai dengan teknis pemotongan yang
benar
b.
Tukang sembelih di RPH Penggaron sudah
melakukan penyembelihan dengan cara yang baik dan halal.
c.
Peralatan
yang terdapat di RPH Penggaron sudah sesuai dengan standar. Penggunaan railing sistem akan memudahkan dalam
pengangkutan karkas dan menjaga agar karkas tidak terkontaminasi bakteri yang
ada pada lantai. Pisau yang digunakan juga tajam sehingga ternak proses
penyembelihan dapat berjalan cepat sehingga tidak menyakiti ternak.
d.
Persentase
darah sapi yang dipotong sudah sesuai dengan standar yaitu 3%
e.
Lama pengeluaran darah adalah 2 menit 13 detik. Lama pengeluran darah tergantung pada jumlah darah yang
dikeluarkan. Faktor yang mempengaruhi waktu pengeluaran darah adalah posisi ternak saat
disembelih dan pengistirahatan ternak.
f.
Bobot tubuh kosong ternak sudah sesuai dengan
standar. Bobot tubuh kosong ternak dipengaruhi oleh bobot saluran pencernaan.
g.
Bobot
saluran pencernaan sapi yang akan dipotong adalah 130,11 kg atau 26,64%, hal tersebut belum sesuai dengan
standar persentase viscera yaitu
27,87-29,71. Persentase bobot saluran pencernaan dipengaruhi oleh lama
pemuasaan.
h. Bobot karkas yang diperoleh di RPH
Penggaron adalah 250,16
kg dengan persentase 51,22%. Persentase karkas tergolong normal karena persentase karkas berkisar 50% - 60% bobot karkas termasuk
tinggi. Faktor yang berpengaruh pada bobot karkas adalah bobot potong yang
tinggi.
i.
Waktu pengulitan relatif lama,
teknik pengulitan sudah baik sesuai dengan prosedur tetapi proses yang
digunakan masih manual tidak menggunakan mesin, sehingga waktu
pengulitan tidak efisien dan relatif lama.
j.
Bobot kulit yang
diperoleh di RPH Penggaron adalah 43,95 kg dengan persentase 9%. Persentase bobot kulit tergolong normal karena
persentase karkas berkisar antara
8-12%.
k.
Bobot kaki sapi yang dipotong di RPH Penggaron sudah memenuhi standar, tingginya
bobot kaki dibandingkan dengan standar dipengaruhi oleh umur dan jenis
kelamin.
l.
Bobot kepala pada ternak adalah 25,19 kg dengan persentase 5,53%. Bobot kepala sudah sesuai dengan standar
bobot kepala sapi potong, bobot kepala dipengaruhi oleh umur dan jenis
kelamin.
m. Bobot hati yang diperoleh di RPH
Penggaron adalah 5 kg
dengan persentase 1,02%
yang mana tergolong tinggi
jika dibandingkan dengan standarnya yaitu 0,7-0,9%. Bobot hati yang tinggi
disebabkan oleh ukuran tubuh ternak yang besar.
n.
Persentase karkas yang diperoleh di RPH Penggaron adalah adalah 51,22% dari bobot potong. Persentase
karkas tergolong lebih tinngi dibandingkan standar. Hal ini dipengaruhi oleh bobot hidup
saat dipotong.
o.
Lama waktu pemotongan tergolong lama hal tersebut dipengaruhi oleh besar kecilnya
ukuran ternak, perlatan yang ada dan tenaga kerja.
|
a. Proses
pemotongan ternak terdiri dari pemuasaan ternak, pemeriksaan kesehatan
ternak, kemudian di bawa ke ruang pemotongan, ditambatkan pada cincin
pembanting untuk dirobohkan, memotong leher, darah ditampung, kepala
dipisahkan, tubuh sapi tanpa kepala diletakan di atas cradle, kaki dipotong, memisahkan jaringan subkutan, sapi
digantung kemudian dikeluarkan viscera,
karkas ditimbang (Agus, 1990).
b.
Proses penyembelihan harus berjalan dengan
baik dan sesuai syariat islam sehingga terjamin kehalalannya (Kemenag, 2010).
c.
Di
dalam bangunan utama harus dilengkapi dengan sistem (railling system) dan alat penggantung karkas yang didisain khusus
dan disesuaikan dengan alur proses untuk mempermudah proses pemotongan dan
menjaga agar karkas tidak menyentuh lantai dan dinding, pisau yang digunakan
untuk pemotongan harus tajam sehingga tiak menyakiti ternak (Badan
Standarisasi Nasional, 1999).
d.
Persentase bobot darah sapi jantan adalah 3% dari bobot hidup
(Rahaldo, 2012). Banyaknya
darah yang dihasilkan ditentukan dari bobot potong dan proses pemotongan
pembuluh darah yang berada di leher (Suryadi,
2006).
e.
Posisi ternak yang digantung akan mempercepat proses pengeluaran darah
saat penyembelihan, darah yang
keluar secara sempurna menghasilkan daging dengan mutu simpan yang baik
dikarenakan darah tidak teringgal didalam daging (Blakely
dan Bade, 1998). Pengistirahatan ternak dilakukan agar ternak tidak
mengalami stres dan ketika disembelih ternak mengeluarkan darah sebanyak mungkin
karena lebih kuat meronta, mengejang atau berkontraksi sehingga darah yang
dikeluarkan akan lebih sempurna (Soeparno, 1998).
f. Kisaran bobot tubuh kosong sapi
yang normal di atas 300 kg (Lestari dkk., 2010). Bobot
tubuh kosong dapat dipengaruhi oleh bobot saluran pencernaan dan darah
(Purbowati dkk., 2014).
g. Bobot saluran pencernaan sapi
potong sebesar 27,87 - 29,71% dari bobot tubuh sapi potong (Lestari dkk., 2010). Bobot saluran pencernaan
dipengaruhi oleh isi yang terdapat pada saluran pencernaan, isi
saluran pencernaan dipengaruhi oleh pemuasaan (Suryadi, 2006).
h. Pesentase bobot karkas
berkisar antara 50% - 60% dari bobot hidupnya (Dumaria, 2006). Semakin tinggi bobot potong maka bobot karkas yang dihasilkan semakin meningkat
pula (Soeparno, 2005).
i. Waktu
yang dibutuhkan untuk pengulitan adalah 9-10 menit (Blakely dan Bade, 1998).
Upaya untuk mempercepat
proses pengulitan digunakan mesin Hide
Puller yang menarik
dari hindshank kearah leher dan foreshank (Ismail dkk., 2014).
j. Persentase kulit terhadap berat
hidup yaitu 8-12%, bobot kulit basah
meningkat seiring dengan perlemakan dan perluasan jaringan kulit yang membesar. Faktor yang
memengaruhi berat kulit adalah postur tubuh (Soeparno, 2005).
k. Persentase bobot kaki sapi yaitu 2 % dari
bobot hidup (Rahaldo, 2012). Bobot kaki pada sapi dipengaruhi oleh jenis kelamin
ternak dan umur (Akoso, 1996).
l. Bobot
kepala pada sapi jantan memiliki persentase sebesar 5,26% dari bobot potong (Lestari dkk., 2010). Faktor yang mempengaruhi bobot
kepala adalah jenis kelamin karena dipengaruhi oleh pertumbuhan relatif non karkas (Soeparno, 2005).
m. Persentase hati berkisar 0,7% -
0,9% (Rahaldo, 2012). Faktor
yang mempengaruhi berat hati adalah ukuran tubuh ternak. Semakin besar tubuh ternak maka semakin
besar pula berat hati (Suryadi, 2006).
n. Persentase
karkas untuk sapi Limosin, Arbedeen Angus dan Simental memiliki persentase
50% dari bobot hidupnya, faktor yang mempengaruhi bobot karkas adalah bobot
potong, umur dan pakan (Fikar dan
Ruhyadi, 2010).
o. Ukuran
tubuh ternak, peralatan yang
tersedia dan tenaga kerja mempengaruhi lama dari pemotongan ternak
tersebut (Soeparno, 1998). Lama
waktu pemotongan kurang lebih sekitar 30 menit (Blakely and Bade, 1998).
|
4.
|
Pemeriksaan
antemortem ternak babi
a. Bangsa : Yorkshire
b. Umur : 6-7 bulan
c. Jenis kelamin : Betina
d. Asal ternak : Kopeng
e. Bobot potong : 100 kg
f. Kondisi kesehatan ternak : Sehat
|
a.
Bangsa babi
yang dipotong adalah Yorkshire. Babi jenis ini adalah jenis babi yang
digemukkan. Berdasarkan pengamatan babi Yorkshire mempunyai ciri-ciri warna
bulu putih kemerahan dan telinganya tegak.
b. Umur ternak babi yang disembelih
di RPH Penggaron sudah baik untuk di potong karena umur babi siap untuk
dipotong adalah 6-8 bulan. Babi umur 6-8 bulan sudah memiliki perototan yang baik sehingga
siap untuk dipotong.
c. Jenis
kelamin babi yang dipotong di RPH Penggaron sudah sesuai dengan standar.
d. Daerah asal ternak yang akan dipotong
tergolong cukup jauh, semakin jauh jarak tempuh maka akan menyebabkan ternak
akan semakin stres.
e. Bobot potong babi yang ada RPH Penggaron
sudah baik karena sesuai dengan standar . Standar bobot badan babi siap
potong adalah 100kg.
f. Babi yang akan dipotong
dalam kondisi sehat. Berdasarkan pengamatan babi terlihat licah dengan posisi berdiri tegak dan
tidak cacat
|
a.
Babi Yorkshire memiliki ciri-ciri berwarna putih dengan telinga tegak.
Bangsa babi ini merupakan tipe bacon/pedaging yang memiliki pertumbuhan yang cepat (Susilorini dkk.,
2008).
b.
Babi siap untuk dipotong berumur 6 - 8 bulan karena umur 6 bulan bobot
babi sudah mencapai 70 - 90 kg (Sinaga, 2008).
c.
Pemotongan pada ternak babi diutamakan jenis kelamin betina karena
babi jantan digunakan untuk perkawinan alami (Sinaga, 2008).
d.
Jarak tempuh yang jauh akan mengakibatkan
tingkat stress pada ternak yang berdampak pada penyusutan bobot badan, dan hilangnya
pertambahan bobot badan (Rianto, 2010).
e.
Rataan umum bobot potong babi berkisar antara 90-100 kg (Lampian dkk.,
2013).
f.
Syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan ternak adalah ternak harus dalam keadaan sehat
atau tidak dalam kondisi lelah setelah perjalanan (Soeparno, 1998). Ternak
yang akan disembelih adalah ternak yang bersih, sehat dan tidak cacat (Prasetyo dkk., 2009).
|
5.
|
Pemotongan
ternak babi
a. Alur pemotongan ternak :
Pengistirahatan
ternak à Stunning (Pemingsanan) à Penyembelihan
à Perebusan à Pengerokan
kulit à Pemotongan
kepala à Pengeluaran viscera à Penimbangan
karkas
b.
Peralatan
pemotongan : pisau, tempat perebusan, electric
stunner dan timbangan
karkas dan railing system.
c. Bobot darah : 3 kg = 3%
d. Lama pengeluaran darah : 27 detik
e. Bobot viscera
: 8 kg = 8%
f. Bobot kepala : 5 kg = 5%
g.
Bobot
hati : 2 kg = 2%
h. Bobot karkas : 81kg = 81%
i. Lama waktu pemotongan : 46 menit
j. Lama pemuasaan : 12 jam
|
a.
Alur pemotongan ternak babi yang berada di
RPH Penggaron sudah sesuai dengan teknis pemotongan babi yang dimulai dari
proses stunning sampai pembentukan karkas.
b.
Peralatan
yang digunakan dalam pemotongan sudah baik karena sudah sesuai dengan standar
teknis. Alat yang digunakan sudah lengkap sehingga memudahkan dalam proses
pemotongan.
c.
Persentase
bobot darah yang dikeluarkan sudah sesuai dengan standar.
d.
Lama pengeluaran darah tergolong cepat,
faktor yang mempengaruhi lama waktu pengeluaran darah adalah pengistirahat
ternak dan cara penyembelihan.
e.
Persentase
saluran pencernaan sudah baik karena sudah sesuai dengan standar. Bobot viscera dipengaruhi oleh pemuasaan.
f.
Persentase
bobot kepala babi sudah baik karena sudah sesuai dengan literaratur yaitu 5%
dari bobot tubuh.
g.
Persentase
bobot hati sudah baik karena sudah sesuai dengan literatur yaitu 2% dari
bobot hidup.
h. Bobot
karkas yang dperoleh di RPH
Penggaron adalah 81 kg atau 81% dari bobot hidup. Persentase bobot karkas tergolong tinggi jika dibandingkan dengan literatur yaitu 70%. Persentase karkas yang tinggi
dapat bobot potong yang tinggi.
i.
Lama
waktu pemotongan babi di RPH Penggaron tergolong lama, hal tersebut
dikarenakan tenaga kerja yang kurang.
j.
Lama
pemuasaaan ternak yang akan disembelih di RPH Penggaron sudah sesuai dengan
standar, lama pemuasaan yang sesuai dapat mengurangi isi dari saluran pencernaan dan memudahkan proses
penyembelihan.
|
a. Sebelum disembelih ternak babi
dipingsankan terlebih dahulu kemudian dilakukan penyembelihan dengan cara
menusuk urat nadi leher dan dimasukkan ke air panas yang kemudian dilakukan
pengerokan bulu, penggantungan babi untuk mempermudah pengeluaran organ dalam
dan pembentukan karkas (Sariubang dan Kaharuddin, 2011).
b. Alat yang digunakan untuk
pemotongan adalah pisau, pemingsan, alat pembersih, alat angkut ternak dan
timbangan (Permentan No. 13/OT.140/1/2010).
c.
Persentase bobot darah sapi adalah 3% dari bobot hidup (Rahaldo, 2012). Rendahnya bobot darah
dapat dipengaruhi dari bobot potongnya (Serres, 1992).
d.
Waktu
yang dibutuhkan untuk mengeluarkan darah kurang lebih sekitar 60 detik
(Blakely and Bade, 1998). Apabila penyembelihan dilakukan dengan cara atau prosedur yang benar
maka darah akan cepat keluar (Zakaria,
2012). Pengistirahatan ternak dilakukan agar ternak tidak mengalami stres dan
ketika disembelih ternak mengeluarkan darah sebanyak mungkin karena lebih
kuat meronta, mengejang atau berkontraksi sehingga darah yang dikeluarkan
akan lebih sempurna (Soeparno, 1998).
e.
Persentase saluran pencernaan mencapai 11,64% dari bobot
hidup (Wea dkk., 2013). Bobot saluran pencernaan
dipengaruhi oleh isi yang terdapat pada saluran pencernaan, isi
saluran pencernaan dipengaruhi oleh pemuasaan (Suryadi, 2006).
f.
Kisaran bobot kepala babi adalah 5% dari bobot tubuh (Wea dkk., 2013). Persentase komposisi bagian tubuh
dipengaruhi oleh faktor genetis, jenis kelamin dan umur (Seranno dkk., 2008).
g.
Hati babi memiliki persentase mencapai 2,1 % dari bobot hidup (Tirta, 2014). Faktor
yang mempengaruhi berat hati adalah ukuran tubuh ternak. Semakin berat bobot
badan ternak makan berat
hati semakin besar (Hafid, 2006).
h.
Ternak babi memiliki persentase karkas yang lebih tinggi di banding
ternak lainnya yaitu 70%, tingginya persentase babi dipengaruhi oleh persentase non karkas yang
meliputi bagian kaki (Tobing,
2012).
i.
Lama
waktu pemotongan babi berkisar antara 15 – 25 menit (Sihombing, 1997). Waktu pemotongan
yang dibutuhkan sampai pembentukan karkas tidak boleh terlalu lama terutama
pada proses penyembelihan, waktu pemotongan dipengaruhi oleh peralatan yang
lengkap dan tenaga kerja (Hafid
dan Aka, 2008)
j.
Sebelum dilakukannya pemotongan ternak, ternak harus dipuasakan selama
12 jam yang bertujuan untuk mendapatkan berat hidup yang kosong (Widiarto dkk., 2009). Ternak
yang akan dipotong harus dipuasakan minimal 8-12 jam sebelum ternak dipotong.
Tujuan pengistirahatan
ternak adalah untuk memperoleh bobot tubuh kosong dan mempermudah proses
penyembelihan (Hafid dan Rugayah,
2009).
|
6.
|
Pemeriksaan
post mortem :
a. Sapi
: Hati, warna merah agak gelap secara merata dengan kantong empedu yang
relative kecil. Konsistensi kenyal dengan tepi-tepi yang cenderung tajam. Tekstur karkas sapi halus agak
berserat, warna daging merah segar, bau khas daging sapi, tidak ditemukan
cacing pada hati.
b. Babi : Ternak sehat dan tidak terjadi
pembengkakan pada limpa, limpa granula berwarna putih dan tidak ada memar
pada tubuh. Tekstur
daging babi lembut,warna daging merah pucat, bau khas babi.
|
a.
Pemeriksaan post mortem kualitas
daging sapi baik dan aman untuk dikonsumsi.
b.
Pemeriksaan post mortem kualitas daging babi
baik dan aman untuk dikonsumsi
|
a.
Pemeriksaan
postmortem adalah pemeriksaan untuk memastikan kelayakan daging yang
dihasilkan aman dan layak diedarkan untuk dikonsumsi masyarakat (Badan
Standarisasi Nasional, 1999). Ciri-ciri daging sapi yang sehat adalah berwarna merah terang atau
cerah, mengkilap, tidak pucat, elastis, tidak lengket dan beraroma khas
(Usmiati, 2010).
b.
Pemeriksaan post
mortem pada babi harus dilakukan untuk memeriksa kelayakan daging babi
untuk dikonsumsi (Badan
Standarisasi Nasional,
1999). Limpa yang tidak terjadi pembengkakan
menandakan babi sehat, karen limpa merupakan oragn kekebalan tubuh
(Charles,2009)
|
DAFTAR
PUSTAKA
Agus,
B. M. 1990. Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta
Akoso, T. B.
1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Alam, S.
2010. Hubungan antara Ukuran Eksterior Tubuh Terhadap Bobot badan Sapi PO
Jantan. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. (Skripsi).
Asdar, Z. 2014. Analisis Proses
Pengelolaan Pemotongan Sapi dan Kerbau di Rumah Potong Hewan Tamangapa
Kecamatan Manggala Makassar. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi Sarjana Peternakan).
Badan
Standar Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-6159-1999. Tentang
Rumah Pemotongan Hewan, Jakarta.
Blakely,
J. dan D. H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi IV.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono).
Budisatria, T dan H, Tety. 2011. Perubahan fenotip
sapi Peranakan Ongole, dan Limpo pada keturunan pertama dan keturunan kedua (Backcross). Buletin Peternakan. 35 (1): 11-16.
Burhanuddin,
R. 2009. Studi Kelayakan Pendirian Rumah Potong Hewan di Kabupaten Kutai Timur.
Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Kab. Kutai Timur.
Burhanudin. R. 2006. Studi kelayakan pendirian rumah potong
hewan di Kabupaten Kutai Timur. Peneliti Pada
Bidang Pengkajian
Sumberdaya UKMK
Chamdi, A.N. 2005.Karakteristik sumberdaya genetik
ternak Sapi Bali (Bos-bibos banteng) dan alternatif pola konservasinya. Biodiversitas 6 (1)
: 70-75.
Dumaria, 2006. Partisipas Peternak dalam Penyuluhan
Peternakan (Kasus kelompok peternak babi di desa Siborong-borong Kabupaten Tapnuli Utara Propisnsi Sumatera Utara. Institus
Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi Sarjana Peternakan).
Fikar,
S. dan D. Ruhyadi. 2010. Beternak dan Bisnis Sapi Potong. Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Gammahendra, F., D. Hamid dan M. F. Rizal. 2014. Pengaruh struktur
organisasi terhadap efektivitas organisasi. J. Administrasi Bisnis (JAB) 7 (2)
:1-10.
Hafid,
H dan R. Aka. 2008. Pengaruh jarak transportasi sebelum pemotongan terhadap
karakteristik karkas sapi Bali. Jurnal Agriplus. 18 (3) : 214-21.
Hafid,
H, 2006. Penanganan ternak sebelum pemotongan dan kualitas daging sapi. Jurnal
Agriplus. 18 (3) : 214-219.
Hafid, H. dan N. Rughayah. 2009.
Persentase karkas sapi bali pada berbagai berat badan dan lama pemuasaan
sebelum pemotongan. Prosiding Seminar Nasionala Teknologi dan Veternier. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hal. 77-85.
Hafid, H. H. dan R. Priyanto.
2006. Pertumbuhan dan distribusi potongan komersial karkas sapi Australian
Commercial Cross dan Brahman Cross hasil penggemukan. Media Peternakan. Vol. 29
(2): 63-69
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak
di Lapangan. Jakarta. PT. Gramedia Widiasarana, Indonesia.
Hidayat, M.A.,
Kuswati and T. Susilawati. 2015. Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas
dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan
25 (2) :71-79
Ismail, M., H.
Nuraini dan R. Priyanto. 2014. Perlemakan pada sapi Bali dan sapi Madura
meningkatkan bobot komponen karkas dan menurunkan persentase komponen non
karkas. Jurnal Veteriner. 15 (3) :
411 – 424.
Kemenag.
2010. Pedoman dan Tata Cara Pemotongan Hewan secara Halal. Direktorat Jendral
Bimbingan Masyarakat Islam, Jakarta.
Lapian,
M.T.R., P.H. Siagian, W. Manalu, dan R. Priyanto. 2013. Kualitas karkas babi
potong yang dilahirkan dari induk yang disuperovulasi sebelum pengawinan. J.
Veteriner. 14 (3): 350-357.
Lawu, M. R., S. Yuliawati, dan L.D.
Saraswati. 2014. Gambaran pelaksanaan rumah pemotongan hewan babi (Studi kasus
di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang). J.
Kesehatan Masyarakat. 2 (2).
127-131.
Lestari,
C. M.S., Y. Hudoyo, dan S. Dartosukarno. 2010. Proporsi karkas dan
komponen-komponen nonkarkas sapi jawa di rumah potong hewan swasta kecamatan
Ketanggungan Kabupaten Brebes. Dalam: Hardi P, Natalia L, Iskandar S,
Puastuti W, Herawati T, Nurhayati, Anggraeni A, Damayanti R, Darmayanti NLPI,
Estuningsih SE (Ed). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Teknologi Peternakan dan Veteriner Ramah Lingkungan dalam Mendukung
Program Swasembada Daging dan Peningkatan Ketahanan Pangan. Bogor, 3-4 Agustus
2010. Hal. 296-300
Peraturan
Daerah Kabupaten Tulungangung, Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rumah Potong
Hewan.
Peraturan
Menteri Pertanian. 2010. Peraturan Rumah Potong Ruminansia dan Unit Penanganan
Daging. Departemen Pertanian, Jakarta. No. 03/Permentan/OT.140/1/2010.
Prasetyo, A., Soeparno, EdiS, Suryanto,
dan Rusman. 2009. Karakteristik kimia dan mikrostruktur otot longissimus dorsi
dan biceps femoris dari sapi glonggong. Buletin Peternakan. 33 (1) : 23-29.
Purbowati, E., E. Rianto., W. S. Dilaga., C. M. S.
Lestari dan R. Adiwinarti. 2014. Bobot dan panjang saluran pencernaan sapi Jawa dan sapi Peranakan Ongole di Brebes. Fakultas Peternakan dan Pertanian
Univeristas Diponegoro, Semarang. J. Peternakan Indonesia. 16(1) :
15-19.
Rahaldo, P. 2012. Persentase Karkas, Non Karkas dan Jeroan sapi
Brahman Cross Pada Berbagi Ukuran Bobot Hidup, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Skripsi Sarjana Peternakan ).
Rianto.
2010. Rumah Potong Hewan sesuai Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Sariubang, M dan Kaharuddin. 2011. Analisis ekonomi
pemeliharaan ternak babi secara tradisional di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi
Selatan. Jurnal Agrisistem, Vol. 7 No.2.
Seranno,
M.P., Valencia D.G., Nieto M, Lazaro R, Mateos G.G. 2007. Influence of sex and
terminal sire line on performance and carcass and meat quality of Iberian pigs
reared under intensive production systems. Meat Sci 78 : 420-428.
Serres,
H. 1992. Manual Of Pig Production In The Tropics. C.A.B. International.
Wallingford, England.
Sihombing,
D. T. H. 1997. Ilmu Beternak Babi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sinaga,
S. 2008. Manajemen Ternak Babi. Diktat. Fakultas Peternakan Universitas
Padjajaran. Bandung.
Siregar, C.J.
2009. Gambaran Respon Kebal Terhadap Infectious Bursal Disease (IBD) pada
Ayam Pedaging Yang Divaksin IBD Killed Setengah Dosis Dan Ditantang
Dengan Virus IBD. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (Skripsi)
Sodiq,
A dan M. Budiono, 2012. Produktifitas sapi potong pada kelompok tani ternak
pedesaan. Agripet. 2 (1) : 28-33.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan III. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Soeparno. 2005. Ilmu dan
Teknologi Daging Cetakan IV. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Suardana,
I. W., I. M. Sukada, I. K. Suada, dan D. A. Widiasih. 2013. Analisis jumlah dan
umur Sapi Bali Betina produktif yang dipotong di rumah pemotongan hewan
Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali. J. Sci. Vet.31 (1) : 43-48.
Sumardianto,
T. A. P., E. Purbawanti dan Masykuri. 2013. Karakteristik karkas kambing
Kacang, kambing peranakan Ettawa, dan kambing Kejobong jantan pada umur satu
tahun. Jurnal Peternakan. 2 (1): 175-182.
Suryadi, U.
2006. Pengaruh bobot potong terhadap kualitas dan hasil karkas sapi Brahman
Cross. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 1
(31): 21-27.
Susilorini,T.E.,
M. E. Sawitri dan Muharlien. 2008. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Suswono. 2009. Pemotongan sapi lokal produktif.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Tawaf, R. 2012. Standarisasi manajemen rumah potong hewan milik
pemerintah di Jawa Barat. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.
(Seminar).
Tirta Merta, I W., I. N. T. Ariana, dan L. G. Sumardani, 2014.
Pengaruh penambahan sekam padi pada ransum yang mengandung limbah hotel
terhadap berat organ dalam babi
landrace persilangan. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar
Vol. 2 (2014) 10 – 19.
Tobing,
S.W.L. 2012.Perbandingan Kualitas Karkas dan Daging antara Babi Peliharaan dan Babi
Hutan. Universitas Andalas, Padang. (Skripsi Sarjana Peternakan).
Usmiati, S. 2010. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
Wea,
R., B. B. Koten, dan T. N. I. Koni. 2013. Identifikasi komposisi tubuh babi
Timor jantan yang dipelihara secara ekstensif. Veteriner. 14 (3)
: 358-364.
Widiarto, W., R. Widiati, dan I G. S. Budisatria.
2009. Pengaruh berat potong dan harga pembelian domba dan kambing betina
terhadap gross margin jagal di Rumah
Potong Hewan Mentik Kresen Bantul. Buletin Peternakan 33 (2): 119-128.
Zakaria,
M. 2012. Analisis Penggemukan Sapi Potong Simmental dan Limousin. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Tag :
Laporan MPT RPH,